Delapan April 2016 adalah hari wisuda di Lincoln University (LU). Saya seharusnya bisa diwisuda bersama kawan-kawan lain di LU, tapi saya memilihĀ “Graduate in Absentia”Ā karena kondisi yang ngggak memungkinkan untuk saya datang ke NZ.
Kalau sekitar 3 tahun yang lalu Bapak Abink sudah pernah cerita dengan Judul yang sama di sini tentang bagaimana ujian doktoral di Lincoln University, kali ini saya bawa cerita ujian yang sedikit berbeda dengan pengalaman bapak Abink 3 tahun lalu.
Begitu saya submit thesis, dan menyelesaikan kontrak kerja, saya langsung balik ke Indonesia. Meja kerja sudah saya kembalikan ke bagian administrasi untuk bisa dipakai oleh orang lain. Tapi, saya masih pakai locker saya untuk simpan beberapa barang yang kira-kira saya butuhkan kalau balik lagi NZ untuk ujian. Waktu itu memang rencananya saya bakal balik ke LU untuk ujian sekitar akhir tahun 2015 atau awal tahun 2016. Bahkan saya masih nitip koper isi baju dll di rumah seorang teman. Tapi, lagi-lagi kita cuma bisa berencana, tapi Allah siapkan rencana lain buat saya. Karena waktu itu nggak memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh, saya harus rela ujian jarak jauh, lewat video conference. Waktu itu rasanya kecewa, karena waktu pulang ke Indonesia saya sama sekali nggak ada persiapan untuk ninggalin NZ untuk waktu yg belum ditentukan. Saya kira bakal ketemu NZ lagi dalam 4-6 bulan setelah kepulangan saya ke Indonesia. Tapi, karena terbang ke NZ lagi adalah pilihan terakhir, akhirnya saya pasrah aja, ngurus ujian jarak jauh ini biar jadi lancar..
Proses setelah submit thesis sampai ujian, kurang lebih hampir sama dengan pengalaman Bapak Abink. Tapi, entah kenapa waktu tunggu saya lebih lama. Saya harus nunggu sekitar 5 bulan sampai saya dapat email panggilan untuk ujian. Mulai tahun ini LU punya kebijakan baru mengenai ujian thesis doktoral. Kali ini, pembimbing tidak ikut andil dalam penilaian. Tugas pembimbing sudah selesai sampai kita submit thesis kita untuk dinilai oleh examiners. Artinya keputusan layak atau tidaknya sebuah thesis untuk mengantarkan seorang candidat doktor untuk menyandang gelar Doktor hanya berada di tangan para penguji. Kebijakan baru ini bikin saya lebih deg-deg an, karena thesis saya akan dinilai oleh orang-orang yang saya sama sekali nggak tau siapa aja mereka.
Tapi, dibalik kebijakan LU yang bikin deg-deg an, ada juga kebijakan lain yang menurut saya menguntungkan student. Ketika kita terima email yang menyatakan bahwa thesis kita layak untuk diuji secara oral, kita juga bakal langsung dapat review yang ditulis oleh para examiners. Jadi, kita udah tau kelebihan dan kelemahan thesis kita di mata examiners. Jadi kita bisa siap-siap buat oral examinationnya nanti.
Thesis examination melalui video conference sebenarnya belum biasa dilakukan di Lincoln University. Untuk bisa ujian jarak jauh, saya harus mengirimkan surat dokter yang menyatakan bahwa saya tidak direkomendasikan untuk terbang ke NZ.
Beberapa minggu sebelum hari ujian, saya sudah lumayan intens komunikasi dengan postgrad administrator dan convenor mengenai apa aja yang harus dipersiapkan untuk ujian jarak jauh dan juga mengatur jadwal yang cocok untuk saya yang di Indonesia, supervisor & convenor di NZ dan examiner di Australia. Selanjutnya, untuk memastikan koneksi internet dan komunikasi lancar, saya sempat 2x melakukan percobaan teleconference. Yang pertama, hanya berdua dengan convenor, dan yang selanjutnya rame-rame sama IT personnya LU, Postgrad Administrator, dan examiners.
Ujian thesis waktu itu jatuh di Hari Selasa, jam 9 pagi WIB, jam 3 sore waktu NZ, jam 1 siang waktu Australia. Saya udah siap dari pagi, saking deg-deg annya š Udah stand by di depan laptop 15 menit sebelum jam 9. Ujiannya sendiri berlangsung selama 45-60 menit aja. Dimulai dengan presentasi dari saya, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Alhamdulillah, examinersĀ saya lumayan gampang ‘dipuaskan’ dengan jawaban-jawaban saya. Setelah sesi tanya jawab berakhir, teleconference dengan saya diputus supaya supervisors, convenor dan examiner bisa diskusi mengenai hasil ujian. Saya tinggal menunggu convenor menghubungi saya untuk bergabung lagi. Setelah menunggu kurang lebih 15 menit, akhirnya saya dihubungi dan diyatakan lulus. Yeaaayyy Alhamdulillah…
Intinya, ujian secara langsung atau melalui video conference ada plus dan minusnya. kalau ujian langsung komunikasinya pasti lebih lancar, diskusi mengenai revisi (kalau ada) juga bakal lebih jelas. Tapi kelemahannya, kalau udah pulang ke Indo harus ngeluarin biaya banyakk š
Kalau ujian lewat video conference lebih banyak yang harus dipersiapkan, terutama konekasi internet yang stabil. Pre-test juga penting banget dilakukan beberapa hari sebelum ujian. Persiapan video conference nya sendiri sebenernya nggak begitu ribet karena kita tinggal tunggu undangan Skype meeting (Lync) dari postgrad adminstrator atau IT person. Tinggal klik-klik untuk instal dll aja.
Yang terpenting untuk ujian langsung maupun video conference adalah persiapan, baca lagi thesisnya, yakin aja kalau kita adalah orang yang paling tau tentang apa yang kita tulis selama 3 tahun terakhir. Dan jangan lupa banyak berdoa..